Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com – Sebelumnya telah dijelaskan bahwa keikhlasan
beribadah menghendaki perintah dipatuhi karena ia diperintahkan syariat, dan
larangan dijauhi karena itu kehendak syariat. Tahu hikmahnya atau tidak syariat
tetap wajib dijalankan. Hikmah syariat tidak lain kecuali penguat terhadap
kelayakan hukum tertentu untuk dilaksanakan. Olehnya itu, mengetahui kelayakan
hukum tersebut untuk dijalani bukanlah tugas hamba. Akan tetapi, tugasnya
sekedar mengerjakannya karena ia perintah dan meninggalkannya karena ia
larangan.
Yang diketahui bersama, sahabat menyandang
derajat keimanan tertinggi karena mereka mematuhi syariat sesuai dengan apa
yang diwahyukan, tanpa menanyakan sebelumnya: “kenapa ini diperintahkan? Kenapa
pula itu dilarang?” Mereka mengerjakannya dengan sepenuh jiwa, raga, dan hati,
tanpa memedulikan hikmah-hikmah penetapannya. Dengan sikap seperti ini, mereka
dipuji oleh teks-teks syariat yang abadi sehingga menjadi teladan oleh generasi
mendatang, seperti: Q.S. At-Taubah [9]: 100, dan hadits Nabi Saw berikut ini:
(لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى! لاَ تَسُبُّوا
أَصْحَابِى! فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغََ
مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ). كذا في صحيح الإمام البخاري، وفي صحيح الإمام
مسلم زيادة لفظ: (فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ).
“Janganlah mencela sahabat-sahabatku!
Janganlah mencela sahabat-sahabatku! Seandainya salah seseorang di antara
kalian menafkahkan hartanya (berupa emas) setinggi gunung Uhud, maka itu pun
belum menyamai pengorbanan salah seorang dari mereka atau seperduanya.”
Demikian periwayatan ini di Shahîh Imam
Bukhâari. Di Shahîh Imam Muslim ada tambahan kalimat, yaitu Sabda Rasul
Saw: “Demi jiwaku yang ada di genggaman-Nya.
Seandainya…”
Karena keikhlasan beribadah lebih jauh
ditentukan oleh cara menyikapi hikmah-hikmah syariat, maka di sini saya
mengajak Anda menelaah pernyataan Ustadz Said Nursi sebelum saya mengajak Anda
yang kedua kalinya untuk menjawab pertanyaan berikut ini: “Kenapa jilatan
anjing dibersihkan dengan tanah sesuai dengan ketetapan syariat? Bukan dengan air?
Bukankah Air alat pembersih utama dari pelbagai jenis kotoran? Apakah di sini
tanah punya kelebihan yang tidak dimiliki air? Tolong jelaskan dari dimensi
mana saja sesuai dengan teks-teks yang sampai di tangan Anda?”
Ustadz Nursi dalam menyikapi hikmah-hikmah
syariat [[3]] berkata:
“Sesungguhnya tujuan ibadah adalah
mematuhi ketetapan Allah SWT dan menggapai keridhaan-Nya. Yang mendorong
lahirnya ibadah adalah perintah Allah SWT, dan hasilnya mencapai keridhaan
tersebut. Adapun buah dan faedah ibadah itu sendiri bersifat ukhrawi. Akan
tetapi, tidak menutup kemungkinan adanya faedah ibadah yang bersifat duniawi, dengan
syarat faedah duniawi tersebut bukanlah tujuan utama dan tidak menjadi dasar
penegakan ibadah tertentu. Olehnya itu, faedah-faedah yang lahir dengan
sendirinya di dunia tidak menyalahi keikhlasan beribadah, tetapi ia diposisikan
sebagai motivator dan penarjih kelayakan ibadah tersebut untuk dilaksanakan
bagi masyarakat awam. Jika faedah-faedah duniawi itu telah menjadi sebab utama
penegakan ibadah, wirid, dan dzikir, maka sesungguhnya ia telah merusak hakikat
ibadah-ibadah itu sendiri, bahkan wirid, sebagai salah satu contoh, yang punya
pelbagai keistimewaan menjadi mandul tidak membuahkan hasil.”[[4]]
Jika Anda telah menyadari ini, maka sekarang
Anda diajak menjawab pertanyaan di atas. Dari teks-teks yang sampai di tangan
penulis, ia melihat bahwa membersihkan jilatan anjing dengan tanah faedahnya
disimpulkan oleh dua dimensi besar, yaitu dimensi kesehatan dan kehidupan.
Setiap dari dimensi itu punya koleksi makna yang menyuarakan ketuhanan dan
keesaan Allah SWT.
Mari kita lihat dimensi medis tanah sebagai alat
pembersih efektif terhadap air liur anjing sebagaimana yang dilaporkan oleh
tulisan singkat DR. Shâlih Ahmad Ridha’, beliau berkata:
“Dari Abu Huraira Ra, Rasul Saw
bersabda:
“Kebersihan
bejana kalian jika dijilat anjing yaitu dengan mencucinya tujuh kali, awalnya
dengan tanah.”[[5]]
Di antara ulama ada yang heran terhadap
kandungan hadits ini, mereka berkata: “bagaimana tanah bisa menjadi alat
pembersih, sementara ia menjadikan segala sesuatu yang disentuhnya kotor?”
Pertanyaan di atas terjawab pada abad
ini oleh pelbagai kajian ilmiah yang melibatkan teknologi modern. Di
antara kajian-kajian tersebut, kajian tentang hubungan tanah dengan penyakit
anjing (Rabies) [[6]]. Rabies penyakit yang terdapat di air liur anjing dan
ditularkan ke manusia. Anjing kadang membawa penyakit ini meskipun ia kelihatan
sehat.
Kajian tersebut telah diuji coba di
Spanyol beberapa tahun silam. Demikian pula oleh kelompok saintis
Pakistan baru-baru ini yang menemukan bahwa virus-virus rabies pada anjing
tidak akan bersih dicuci dengan air. Akan tetapi, ia akan bersih dan tidak
meninggalkan bekas apapun di bejana dengan tanah.”[[7]]
Pernyataan yang sama diberikan oleh DR. Kamal
al-Mowil, beliau berkata:
“Virus penyebab Rabies sangat kecil,
dan setiap kali zat virus itu tambah kecil maka ia pun tambah berbahaya, karena
kemungkinan besar ia melekat di dinding-dinding bejana. Di sini,
membersihkannya dengan tanah lebih kuat dari air. Tanah membuka air liur dan
mengangkat virus-virusnya dengan begitu kuat dari semprotan air, atau dengan sapuan
tangan. Itu terjadi karena tanah lebih kuat memberikan tekanannya pada benda
cair, seperti air liur anjing. Di Fisika dicontohkan dengan tekanan kapur
terhadap tinta.”[[8]]
Kedua teks medis ini mengundang tanya terhadap
apa yang dimiliki tanah sehingga ia punya keampuhan pembersih yang luar biasa
dalam hal ini, melebihi kemampuan air dan benda-benda lain. Di antara teks
medis yang sampai di tangan penulis laporan Dr. Arwa Abdurrahman Ahmad (Guru
besar Mikrobiologi di Universitas Sana’a, Yaman) yang memberikan jawaban
terhadap pertanyaan di atas. Beliau mengatakan:
“Di saat mencermati mikroorganisme
(makhluk hidup yang berukuran sangat kecil sehingga untuk mengamatinya
diperlukan alat bantu) yang ada di tanah, terlihat bahwa di sana terdapat
mikroorganisme yang punya manfaat terhadap makhluk hidup lain di sekitarnya.
Mereka berfungsi menyuburkan tanah, membantu tumbuh-tumbuhan menyerap pupuk dan
nitrogen, dan ikut andil memerangi mikroba-mikroba bersel tunggal (uniseluler)
yang menyebabkan pelbagai penyakit.
Fungsi tanah yang terakhir ini memberi
indikasi kuat bahwa ia bisa menjadi media penyembuhan. Fungsi seperti ini telah
digarisbawahi sebelumnya oleh Rasul Saw di hadits berikut ini:
“Dengan
menyebut nama Allah tanah bumi kami dengan air liur sebagian dari kami, obat
terhadap orang sakit dengan izin Tuhan Kami.”[[9]]
Saya telah melakukan penelitian dalam
bidang ini dengan mengangkat spesies Streptomyces [[10]] dari tanah Yaman yang memproduksi anti
biotik (Species of Streptomyces-producing antibiotics isolated from Yemen
soil). Penelitian ini mencatat 43 dari species Streptomyces yang
punya kemampuan meredam pergerakan bakteri-bakteri negatif. Di antara spesies
ituada yang menghasilkan anti biotik berwarna putih setelah bersentuhan
dengan Etil asetat yang melahirkan molekul-molekul, dan selanjutnya
disaring secara Kromatografi [[11]].”[[12]]
Di lain sisi, unsur-unsur tubuh serupa dengan
unsur-unsur tanah. Yang diketahui saintis sampai sekarang bahwa terdapat di
dalam tubuh 22 unsur yang terdiri dari:
1.
Oksigen (O), Hidrogen (H), dalam bentuk air sebesar 65%-75% dari
massa tubuh manusia.
2.
Karbon (K), Hidrogen (H), dan Oksigen (O), mereka membentuk dasar
senyawa organik yang terdiri dari gula dan lemak, protein, vitamin, hormon atau
enzim.
3.
unsur-unsur padat yang terdiri dari:
a. 6 unsur, yaitu: Clor (Cl), Belerang atau
Sulfur (S), Magenesium (Mg), Kalium (K), Natrium atau Sodium (Na), mereka
membentuk 60%-80% massa.
b. 6 unsur yang persentasenya sedikit dibanding
persentase unsur-unsur di atas, yaitu: Besi (Fe), Tembaga (Cu), Yodium
(I), Mangan (Mn), Kobalt (Co), Seng (Zn), dan Molibdenum (Mo).
c. 6 unsur yang punya persentase paling sedikit
dalam tubuh, yaitu: Flour (F), Aluminium (Al), Bromin atau Brom (Br), Selenium
(Se), Kadmiun (Cd), dan Kromium atau Krom (Cr).
Semua unsur-unsur tubuh tersebut terdapat di
tanah. Tentunya, ini adalah dalil ilmiah bahwa manusia tercipta dari tanah.
Olehnya itu, ia layak untuk dijadikan sebagai media pengobatan. Hal ini telah
ditegaskan sebelumnya dalam ayat ini:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ
مِّن طِينٍ ﴿١٢﴾
“Dan Sesungguhnya kami Telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.” (Q.S. Al-Mu’minum
[23]: 12)
Hematnya, karena tanah pembersih kedua setelah
air dalam hal-hal tertentu sebagaimana dalam syariat, ia pun disifati oleh
Al-Qur’an sebagai zat yang suci dan menyucikan. Allah SWT berfirman:
وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ
جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ
“Dan jika kamu sakit, atau dalam
perjalanan, atau kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih).” [[13]] (Q.S. Al-Maidah [5]: 6)
Label kesucian tanah ini yang disuarakan
Al-Qur’an membungkam mulut orang-orang yang meragukan kebenaran hakikat
syariat. Olehnya itu, telah jelas sejelas terik mentari di siang hari bahwa
tidak ada hukum yang ditetapkan syariat kecuali itu sesuai dengan fitrah
penciptaan dan relevan dengan kemaslahatan manusia meski datang dari satu sisi.
Sebelum tulisan singkat ini diakhiri para
pemerhati tema-tema syariat diajak menelaah dan menyuarakan kesimpulan di bawah
ini:
“Kerjakan perintah karena ia diperintahkan!
Tinggalkan larangan karena ia dilarang! Itulah hakikat keikhlasan beribadah.
Jangan abaikan perintah dan larangan hanya karena tidak mengetahui hikmahnya!
Para sahabat disifati teks-teks syariat dengan pelbagai sifat mulia karena
mengamini kebenaran dan kelayakan sebuah hukum untuk dijalankan, meskipun
mereka tidak mengetahui hikmah penetapannya. Pengetahuan terhadap hikmah hukum
tertentu tidak lain kecuali penguat dan penarjih terhadap kelayakan hukum
tersebut untuk ditaati. Yakini dan amini hakikat syariat tersebut dengan
menelaah tulisan singkat ini sebagai salah satu contoh sederhana dalam hal
ini!”
Catatan Kaki:
[1] Tulisan ini jawaban terhadap pertanyaan salah satu pemerhati
tema-tema dakwah yang mengatakan: “Tolong dibahas lagi ya, kenapa air liur sama
menyentuh anjing itu haram?”
Pertanyaan tersebut sebenarnya tidak berhenti di
sini saja, tetapi yang paling menarik pertanyaan seseorang yang mengatakan:
“kenapa bekas jilatan anjing harus dibersihkan dengan tanah, bukan dengan air?
Bukankah tanah itu kotor? Membersihkannya dengan tanah berarti menambah
kotoran?”
Di samping itu, para ulama berbeda pendapat
terhadap kenajisan anjing.
Ulama fiqih Hanafi melihat bahwa anjing bukanlah
najis dilihat dari zatnya, tetapi yang bernajis adalah air liurnya.
Beda halnya dengan ulama fiqih Maliki yang
melihat zatnya bersih, demikian pula dengan darah dan air liurnya. Bagi mereka
setiap makhluk hidup itu bersih dilihat dari fitrah penciptaan mereka, meski
makhluk itu adalah anjing dan babi.
Sementara itu, ulama fiqih Hambali dan Syafii
mengatakan bahwa anjing itu zatnya najis.
Perbedaan mereka dalam melihat zat anjing
menyebabkan perbedaan selanjutnya terhadap rambut hewan ini.
Ulama fiqih Hanafi dan Maliki melihat
kebersihannya, sementara itu, ulama fiqih Syafi’i dan Hambali menajiskannya.
Karena terdapat perbedaan pendapat tentang zat
anjing sendiri yang melahirkan perbedaan pendapat terhadap bulu-bulunya, maka
penulis lebih menekankan pembahasan terhadap hikmah penetapan syariat terhadap
tanah sebagai alat pembersih dari jilatan anjing.
[Lihat masalah ini di kitab-kitab fiqih 4
mazhab: di fiqih Hanafi, seperti: al-Bahru
ar-Râiq, vol. 1, hlm. 244, di fiqih Hambali seperti: as-Syarhul Kabîr, vol. 2, hlm.
277, di fiqih Syafi’i seperti: al-Hâwi, vol.
1, hlm. 305, vol. 15, hlm. 179].
[2] Hadits ini diriwayatkan di Shahîh
Imam Bukhâri dari Abu Said al-Khudri Ra, kitab Fadhâil as-Sahâbah,
bab Firman Allah SWT: (لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيْلاً),
hadits. no: 3673, hlm. 1009, dan tambahan tersebut di Shahîh Muslim datang di
periwayatan lain dari Abu Huraira Ra, kitab Fadhâil as-Sahâbah, bab Tahrîm
Sabbi as-Sahâbah, hadits. no: 6651, hlm. 1318
[3] Di sini hikmah-hikmah syariat yang bersifat duniawi kadang datang
dalam bentuk fungsi kesehatan yang dipetik dari ibadah-ibadah tertentu, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya di fungsi medis sujud.
[4] Ustadz Said Nursi, Haqâiq
al-Îmân, hlm. 138-139
[5] Hadits ini diriwayatkan di Shahîh
Imam Muslim, kitab at-Thahârah, bab Hukmi Wulug al-Kalb, hadits.
no: 677, hlm. 153
[6] Kata rabies berasal dari bahasa Sanskerta kuno rabhas yang artinya
melakukan kekerasan dan kejahatan. Dalam bahasa Yunani, rabies disebut Lyssa atau Lytaa yang artinya
kegilaan. Dalam bahasa Jerman, rabies disebut tollwut yang
berasal dari bahasa Indojerman Dhvar yang
artinya merusak dan wut yang
artinya marah. Dalam bahasa Prancis, rabies disebutrage berasal
dari kata benda robere yang
artinya menjadi gila.
Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan
saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik,
yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Virus rabies ditularkan ke
manusia melalui gigitan hewan, misalnya: oleh anjing, kucing, kera, rakun, dan
kelelawar. Rabies disebut juga penyakit anjing gila. [http://id.wikipedia.org/wiki/Rabies]
[[7]] Lihat: Shâlih Ahmad Ridha’, al-I’jâz al-Ilmi fi as-Sunnah
an-Nabawiyyah, Maktabah al-Obekan, Jeddah, cet. 1421 H/2001, vol. 2,
hlm. 841
[8] Lihat artikel ini di website DR. Kamal al-Mowil: http://almowil.com/aleejaz.htm
[9] Hadits ini diriwayatkan di Shahîh Imam Bukhari dari Sayyidah
Aisyah, Ra, Kitab Tib, bab Ruqyah an-Nabi Saw, hadits. no: 5745, hadits ini
juga ditemukan di Shahîh Imam Muslim.
Imam an-Nawawi berkata:
“Mayoritas ulama mengatakan bahwa
maksud (بِأَرْضِنَا) di sini adalah tanah beberapa tempat, ada juga
yang mengatakan bahwa tanah Madinah saja dilihat dari
berkahnya. (الرِّيْقَة) lebih sedikit dari air liur. Arti hadits, ia
mengambil air ludahnya sendiri dengan jari telunjuk, kemudian diletakkannya di
atas tanah sehingga melengket di telunjuk tersebut sedikit dari tanah itu,
selanjutnya membasuhkannya di luka atau bagian tubuh yang terasa sakit, dan
membaca doa ini.” [Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w 676 H), Syarhu an-Nawawi ala Shahîh Imam
Muslim, vol. 14, hlm. 184]
Hematnya, semua tanah punya kelayakan untuk
menjadi media penyembuhan karena pada dasarnya mereka bersih. Rasul Saw
bersabda:
(جُعِلَتْ لِيْ الأَرْضُ
مَسْجِداً وَطَهُوْراً)
“Dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan tempat
suci yang menyucikan.” (hadits riwayat Shahîh Bukhâri)
Di sini tidak disebutkan
tempat tertentu di belahan dunia, atau jenis tanah tertentu. Olehnya itu,
setiap jenis tanah dari tempat manapun layak untuk menjadi bahan pengobatan.
Bukan hanya itu, telah terbukti oleh saintis modern bahwa setiap tempat punya
mikroorganisme tanah tertentu sesuai dengan iklim geografis yang ia miliki.
[10] Streptomyces adalah bakteri gram positif yang menghasilkan spora yang
dapat ditemukan di tanah. Bakteri ini nonmotil dan berfilamen. Selain ditemukan
pada tanah, bakteri ini juga dapat ditemukan pada tumbuhan yang membusuk.
Streptomyces dikenal juga karena memproduksi senyawa volatil yaitu Geosmin yang
memiliki bau khas pada tanah. Streptomycestermasuk
ke dalam golongan Actinomyces yaitu
bakteri yang memiliki struktur hifa bercabang menyerupai fungi dan dapat
menghasilkan spora.
[11] Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan molekul berdasarkan
perbedaan pola pergerakan antara fase gerak dan fase diam untuk memisahkan
komponen (berupa molekul) yang berada pada larutan.
[http://id.wikipedia.org/wiki/Kromatografi]
[12] Arwa Abdurrahman Ahmad, I’jâz
as-Syifa’ fi ar-Rîq wa at-Turâb, artikel ini disampaikan di
muktamar internasional kedelapan seputar kemukjizatan ilmiah di Al-Qur’an dan
Sunnah, hlm. 182-183
[13] Lihat: Abdul Hamid Diyab dan Ahmad Qarquz, Maa at-Tib fil Qur’an Karim, ditahkik
oleh Dr. Mahmud Nadshim Nasimi, Muassasah Ulum Al-Qur’an, cet. 2, 1982 M, hlm.
72-73
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Kunjungi Kembali yaaaa......!!!!